✔ Pergi Berhaji Dengan Berhutang , Bolehkah Dalam Islam??? Ini Jawabannya
Pergi Berhaji dengan Berhutang , Bolehkah Dalam Islam??? Ini Jawabannya
Redaksi / 55 menit yang lalu
Maaf pak Ustadz, ada beberapa hal yang ingin saya ketahui perihal aturan Islam, yaitu :
1. Jika ada anggota keluarga yang berniat haji tapi memakai uang santunan dari suatu perusahaan, dengan perhitungan nanti pada dikala tiba waktu keberangkatan, santunan tersebut telah dilunasi oleh yang bersangkutan. Apakah hal tersebut dibolehkan dalam Islam ?
2. Bagaimana hukumnya kalau seorang suami menyuruh istri untuk tetap bekerja, sementara si istri sudah jenuh bekerja ( kl. 15 tahun ) dan ingin lebih konsentrasi mengurus anak ( 3 orang ) yang mulai beranjak besar, kalau memungkinkan berwiraswasta di rumah. Tapi bila si istri berhenti bekerja, maka si suami mensyaratkan dihentikan meminta macam2. Perlu Pak Ustadz ketahui, kami mempunyai KPR yang masih berlangsung 11 tahun lagi & asuransi pendidikan untuk 3 orang anak.
Mohon penjelasannnya pak, terima kasih.
Wassalam
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Ummu Ila yang dimuliakan Allah swt
Haji dengan Utang
Pada dasarnya tidak ada kewajiban bagi seorang yang berutang untuk pergi menunaikan ibadah haji sebelum ia melunasinya terlebih dahulu, sebagaimana firman Allah swt :
وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً
Artinya : “Mengerjakan haji yaitu kewajiban insan terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Al Aimron : 97)
Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa berkata,”Aku bertanya kepada Rasulullah saw perihal seorang yang belum menunaikan haji atau berutang untuk haji? Beliau saw bersabda,’Tidak.” (HR. Baihaqi)
Haji yaitu hak Allah yang tegak diatas toleransi sedangkan utang yaitu hak insan yang tidak tegak diatas toleransi. Dengan demikian tidak dibolehkan bagi orang yang berutang pergi menunaikan ibadah haji sebelum melunasi utangnya itu. Akan tetapi apabila orang yang memperlihatkan utang memperlihatkan toleransi kepadanya dan rela atas penundaan pembayaran utangnya tersebut sampai tamat ibadah haji maka ia dibolehkan pergi menunaikan ibadah haji.
Sebaliknya apabila orang yang berutang tersebut tidak mendapat toleransi dari orang yang memberikannya utang atau tidak meyakini bahwa dirinya bisa melunasi utang-utangnya sehabis ia berhaji maka tidak ada kewajiban atasnya untuk menunaikan ibadah haji. Hal itu dikarenakan melunasi utang-utang lebih utama baginya daripada pergi menunaikan ibadah haji dalam keadaan berutang.
Adapun utang yang pelunasannya gres terjadi pada masa yang akan tiba yang pembayarannya diambil dari pemotongan honor atau penghasilan tetapnya secara rutin setiap bulannya sampai utang tersebut terlunasi maka hal ini tidaklah menjadi penghalang baginya untuk menunaikan ibadah haji meskipun ia masih terus membayar utangnya tersebut setiap bulannya.
Akan tetapi apabila seorang yang berutang dengan cara diatas namun dikhawatirkan kepergiannya menunaikan ibadah haji akan menjadikannya mengabaikan atau menghambat pelunasan utangnya maka tidak ada kewajiban atasnya untuk berhaji kecuali apabila orang yang diutanginya itu memperlihatkan toleransi kepadanya serta orang yang berutang tersebut meyakini bahwa dirinya tetap mempunyai kesanggupan untuk melunasi utang-utangnya tersebut.
Dengan demikian apa yang dilakukan salah seorang anggota keluarga anda yang meminjam uang perusahaan untuk menunaikan ibadah haji dan gres terlunasi sesaat sebelum ia pergi berhaji maka hal itu tidaklah menjadi penghalang baginya untuk pergi menunaikan ibadah haji.
Suami Minta Istri Tetap Bekerja
Allah swt mewajibkan kepada seorang suami untuk memperlihatkan nafkah, kawasan tinggal, pakaian kepada isteri dan keluarganya sesuai dengan kesanggupan yang dimilikinya, sebagaimana firman Allah swt :
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ
Artinya : “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kau bertempat tinggal berdasarkan kemampuanmu dan janganlah kau menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (QS. Ath Thalaq : 6)
وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا
Artinya : “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan berdasarkan kadar kesanggupannya.” (QS. Al Baqoroh : 233)
Adapun kewajiban seorang isteri yaitu di rumahnya, melayani suami dan mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang baik. Ia tidaklah berkewajiban mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Namun demikian islam tidaklah melarangnya apabila seorang isteri bekerja di luar rumah terlebih lagi apabila penghasilan suaminya dirasakan tidak cukup untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan hidup keluarganya. Hal ini dianggap sebagai sebuah sedekah bagi suami dan keluarganya dengan syarat bekerjanya di luar rumah tidak mengabaikan aneka macam kewajiban asasinya di rumah terhadap suami dan anak-anaknya.
Seorang suami tidak diperbolehkan memaksa isterinya untuk bekerja atau tetap bekerja di luar rumah mencari nafkah dan penghasilan untuk keluarganya dikarenakan hal ini bukanlah kewajibannya kecuali apabila keadaan rumah tangganya memaksanya untuk bekerja, ibarat : penghasilan suami yang tidak sanggup menutupi kebutuhan minimal keluarganya, suami mengalami sakit yang berkepanjangan sehingga menghambatnya untuk mencari penghasilan, beban utang-utang keluarga yang harus dibayar secara rutin dan lain sebagainya.
Sebagaimana disebutkan diatas bahwa kewajiban memperlihatkan nafkah, kawasan tinggal dan pakaian ada diatas bahu suami sedangkan isteri dituntut untuk tidak meminta segala sesuatu diluar batas kemampuan suaminya. Seorang suami tidak diperbolehkan berlaku bakhil dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Dan ketika ia berbuat bakhil padahal dirinya mempunyai kesanggupan berlebih maka diperbolehkan bagi isterinya untuk mengambil tanpa sepengetahuannya demi memenuhi kebutuhan keluarganya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Aisyah sebenarnya Hindun binti Utbah berkata,”Wahai Rasulullah saw sesungguhnya Abu Sofyan yaitu lelaki yang bakhil. Ia tidak memberikanku sesuatu yang mencukupi diriku dan anak-anakku kecuali apa yang saya dambil darinya tanpa sepengetahuannya.’ Beliau saw bersabda,’Ambillah apa yang sanggup mencukupi dirimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik.” (HR. Bukhori)
Jadi apabila yang dimaksud suami anda untuk tidak meminta yang macam-macam yaitu tidak menuntut darinya segala sesuatu diluar kesanggupannya namun ia tetap memperlihatkan hak-hak wajib anda sebagai isteri, ibarat : nafkah, kawasan tinggal, pakaian, kesehatan dalam batas-batas kemampuannya maka permintaannya tersebut dibolehkan.
Akan tetapi apabila yang dimaksudnya yaitu anda dihentikan menuntutnya sama sekali termasuk hak-hak wajib anda sebagai istrinya walaupun dalam batas-batas kesanggupannya maka permintaannya itu tidak dibenarkan sebagaimana hadits Hindun diatas.
Namun ada baiknya semua hal tersebut dimusyawarahkan antara anda dan suami anda dengan melihat realita yang ada disekitar rumah tangga anda, ibarat : kejenuhan anda bekerja, usia belum dewasa yang sudah beranjak besar, cicilan KPR yang masih 11 tahun, asuransi anak-anak, kemampuan suami anda, prospek wiraswasta anda dan lainnya.
Dan hendaklah musyawarah tersebut dibarengi dengan melaksanakan shalat istikharah meminta petunjuk dan kode dari Allah swt dalam mengambil keputusan tersebut, sebagaimana didalam sebuah ungkapan disebutkan “Tidaklah merugi orang yang bermusyawarah dan tidaklah menyesal orang yang melaksanakan shalat istikharah’
Wallahu A’lam
-Ustadz Sigit Pranowo, Lc-
Source:
Kunjungi website
Belum ada Komentar untuk "✔ Pergi Berhaji Dengan Berhutang , Bolehkah Dalam Islam??? Ini Jawabannya"
Posting Komentar