✔ Sejarah Lengkap 99% Keadaan Bangsa Indonesia Sebelum Merdeka
Sejarah Lengkap 99% Keadaan Bangsa Indonesia Sebelum Merdeka
Sebelum merdeka, negara Indonesia mencicipi pahitnya penjajahan oleh beberapa negara asing. Dimulai dari portugis yang pertama kali tiba di Malaka pada tahun 1509. Portugis berhasil menguasai Malaka pada 10 Agustus 1511 yang dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque. Setelah menguasai Malaka, portugis mulai bergerak dari Madura hingga ke Ternate. Bangsa Indonesia melaksanakan banyak sekali perlawanan terhadap Portugis. Salah satu perlawan yang populer ialah perlawan Fatahillah yang berasal dari Demak di Sunda Kelapa (sekarang Jakarta). Fatahillah berhasil memukul mundur bangsa Portugis dan mengambil kembali Sunda Kelapa. Setelah itu nama Sunda Kelapa diubah oleh Fatahillah menjadi Jayakarta.
Masa penjajahan Portugis berakhir pada tahun 1602 sehabis Belanda masuk ke Indonesia. Belanda masuk ke Indonesia melalui Banten di bawah pimpinan Cornelius de Houtman. Belanda ingin menguasai pasar rempah-rempah di Indonesia dengan mendirikan Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Banten pada tahun 1602. Karena pasar di Banten menerima tentangan dari pedagang tionghoa dan inggris maka kantor VOC pindah ke Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan, VOC menerima perlawanan dari Sultan Hasanuddin. Berbagai perjanjian dibuat. Salah satunya ialah perjanjian Bongaya. Akan tetapi, Sultan Hasanuddin tidak mematuhi perjanjian tersebut dan melawan Belanda. Setelah berpindah-pindah tempat, karenanya VOC hingga d Yogyakarta. Di Yogyakarta, VOC menandatangani perjanjian Giyanti yang isinya ialah Belanda mengakui mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwono 1. Perjanjian Giyanti juga memecah kerajaan Mataram menjadi Kasunan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Lalu, karenanya VOC dibubarkan pada tanggal 1 Januari 1800 sehabis Belanda kalah dari Perancis.
Setelah VOC dibubarkan, penjajahan Belanda tidak berhenti. Belanda menunjuk Daendels sebagai gubernur jenderal hindia belanda. Pada masa Deandels, masyarakat Indonesia dipaksa untuk menciptakan jalan raya dari Anyer hingga Panarukan. Namun masa pemerintahan Daendels tidak berlangsung usang dan digantikan oleh Johannes van den Bosch. Van den Bosch menerapkan sistem tanam paksa (cultuur stelsel). Dalam sistem tanam paksa, setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan (20%) dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial.
Setelah 350 tahun Belanda menguasai Indonesia, pemerintahan Belanda di Indonesia digantikan oleh bangsa Jepang. Belanda mengalah tanpa syarat kepada jepang melalui perjanjian Kalijati pada tanggal 8 maret 1942. Masa pendudukan Jepang dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada 17 agustus 1945. Di Indonesia, Jepang membentuk beberapa organisasi. Organisasi yang dibuat Jepang antara lain ialah PETA (Pembela Tanah Air), Heiho (pasukan Indonesia buatan Jepang), PUTERA, Jawa Hokokai (pengganti Putera).
Perlawanan terhadap penjajahan Jepang banyak dilakukan di beberapa tempat di Indonesia. Di tempat Cot Plieng aceh perlawanan terhadap Jepang dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil (seorang guru ngaji di tempat tersebut). Usaha Jepang untuk membujuk sang ulama tidak berhasil, sehingga Jepang melaksanakan serangan mendadak di pagi buta sewaktu rakyat sedang melaksanakan shalat Subuh. Dengan persenjataan sederhana/seadanya rakyat berusaha menahan serangan dan berhasil memukul mundur pasukan Jepang untuk kembali ke Lhokseumawe. Begitu juga dengan serangan kedua, berhasil digagalkan oleh rakyat. Baru pada serangan terakhir (ketiga) Jepang berhasil memperabukan masjid sementara pemimpin pemberontakan (Teuku Abdul Jalil) berhasil meloloskan diri dari kepungan musuh, namun karenanya tertembak ketika sedang shalat. Perlawanan lain yang populer lainnya ialah perlawanan PETA di tempat Blitar, Jawa Timur. Perlawanan ini dipimpin oleh Syodanco Supriyadi, Syodanco Muradi, dan Dr. Ismail. Perlawanan ini disebabkan lantaran masalah pengumpulan padi, Romusha maupun Heiho yang dilakukan secara paksa dan di luar batas perikemanusiaan. Sebagai putera rakyat para pejuang tidak tega melihat penderitaan rakyat. Di samping itu perilaku para instruktur militer Jepang yang besar kepala dan merendahkan prajurit-prajurit Indonesia. Perlawanan PETA di Blitar merupakan perlawanan yang terbesar di Jawa. Tetapi dengan tipu budi kancil Jepang melalui Kolonel Katagiri (Komandan pasukan Jepang), pasukan PETA berhasil ditipu dengan akal-akalan diajak berunding. Empat perwira PETA dieksekusi mati dan tiga lainnya disiksa hingga mati. Sedangkan Syodanco Supriyadi berhasil meloloskan diri.
Pemerintahan Jepang di Indonesia berakhir sehabis Jepang kalah dari tentara sekutu di Perang Dunia II. Dua kota di Jepang yaitu Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom oleh tentara sekutu. Setelah mendengar adanya kekalahan Jepang, dibentuklah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Cosakai yang diketuai oleh Radjiman Widyodiningrat. Nama BPUPKI diganti menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Inkai untuk lebih menegaskan harapan dan tujuan bangsa Indonesia untuk merdeka. Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan menunjukkan kemerdekaan kepada Indonesia. Namun pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar gosip lewat radio bahwa Jepang telah mengalah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah berkemas-kemas memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang. Saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak biar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan lantaran menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu budi kancil Jepang, lantaran Jepang setiap ketika sudah harus mengalah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir ihwal hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI ketika itu sanggup menjadikan pertumpahan darah yang besar, dan sanggup berakibat sangat fatal jikalau para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan lantaran itu ialah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI ialah tubuh buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan ‘hadiah’ dari Jepang. Setelah mendengar Jepang mengalah pada tanggal 14 Agustus 1945, golongan muda mendesak golongan bau tanah untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan bau tanah tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada ketika proklamasi. Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke rumah Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara. Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum mendapatkan konfirmasi serta masih menunggu arahan dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang bekerjasama dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan. Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para cowok dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan lantaran Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadiperistiwa Rengasdengklok. Perisiwa Rengasdengklok ialah insiden penculikan terhadap Soekarno dan Hatta oleh golongan muda untuk mempercepat pelaksanaan proklamasi. Setelah kembali ke Jakarta dari Rengasdenglok, Soekarno dan Hatta menyusun teks proklamasi di rumah Laksamana Maeda yang dibantu oleh Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Setelah konsep selesai, Sayuti Melik menyalin dan mengetik naskah tersebut. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56.
Belum ada Komentar untuk "✔ Sejarah Lengkap 99% Keadaan Bangsa Indonesia Sebelum Merdeka"
Posting Komentar